MEMPERKIRAKAN NEW NORMAL DI DUNIA PENDAKIAN
Bernard T. Wahyu Wiryanta – Wildlife Photo Journalist & Outdoor Activist |
SARS-CoV-2 nama resmi virus Corona yang menyebabkan Corona Viruses Disease (COVID-19) atau
wabah virus Corona yang mulai merebak di akhir tahun 2019 membawa banyak
perubahan di dunia. Beberapa negara yang sudah mulai pulih dari COVID-19 mulai
menerapkan “New Normal” yang merubah
tata kehidupan kita dalam besosialisasi di semua segi kehidupan. Salah satu
yang yang juga akan menerapkan “New
Normal” adalah dunia pendakian gunung.
Sebelum ramai
kegiatan luar ruang di era teknologi baru, setelah milenium (tahun 2000an),
saya terbiasa mendaki gunung secara individu. Bukan “Solo Climbing”, karena ditengah perjalanan pasti bertemu dengan
pendaki lain, walau tidak banyak. Tapi jumlah pendaki gunung yang saya temui
masih bisa dihitung dengan jari tangan, tidak lebih dari semua jari di tangan
dan kaki saya. Perlengkapan saya sederhana saja dan semua bisa masuk dalam
ranse tempur milik TNI. Biasanya saya isi dengan pisau rimba, baju ganti satu
stel, sarung, jacket, plastik bening lebar, makanan mateng, jerigen air, panci
kecil dan korek api serta garam dan gula merah. Itu saja, simpel.
Setelah milenium
yang dimulai sejak tahun 2000, lonjakan teknologi berkembang sangat pesat.
Generasi saya beruntung masih mampu mengikuti perkembangan yang ada, tapi
generasi orang tua dan kakek saya banyak yang kemudian gagap teknologi. Tidak
mampu mengikuti perkembangan teknologi yang ada. Zaman berubah. Dulu kami
besilahturahmi bisa setahun sekali dengan kartu pos, mengirim uang dengan wesel pos, membaca dan mendengar berita
di Jakarta atau luar negeri bisa delay beberapa hari atau beberapa minggu. Mengirim
pesan penting yang harus segera disampaikan masih menggunakan telegram. Kode
dengan kentongan yang dipukul dengan beberapa kode merupakan salah satu
“broadcast message” di kampung waktu itu.
Namun zaman berubah,
setelah tahun 2000 dunia tanpa gembar-gembor menerapkan “New Normal” Kami bisa berbicara dan mengirim surat hanya hitungan
detik dengan telpon genggam. Berita dari pelosok dunia bisa kita baca hanya
dalam hitungan detik setelah kejadian. Semua sekarang bisa memberitakan apapun
kemanapun dan kapan saja. Jarak dan waktu sudah tidak menjadi penghalang lagi.
Begitu juga dengan kegiatan pendakian gunung.
Setelah tahun 2000
semua orang bisa mengakses semua informasi semua gunung di dunia. Teknologi
pendakian gunung pun berkembang pesat. Saya sudah tidak lagi memakai ransel
tempur, plastik lembaran dan sarung serta sandal “Swallow” lagi ketika
mengunjungi hutan dan gunung. Saya harus membeli ransel besar minimal kapasitas
65 liter, membawa sleeping bag tebal,
sepatu treking yang menutup mata
kaki, gaiter, Trangia Cooking Set, bahan bakar, jacket anti badai, tenda dengan
rangka alumunium, kompas, GPS, dan sebagreg perlengkapan yang membatasi gerak
di hutan dan gunung. Tapi ini semua terpaksa saya lakukan demi keselamtan.
Perlengkapan baru pendakian gunung ini juga wajib dibawa buat para wisatawan
gunung, para pengunjung gunung dadakan di era jejaring sosial yang belum
mendapat pendidikan dan latihan dasar mountaineering.
Para wisatawan gunung ini juga biasa memanfaatkan jasa travel agent yang mampu mengelola perjalanan mereka. Awal-awal saya
mengadopsi “New Normal” dunia
pendakian gunung ini tentu saja merasa risih dan aneh. Saya kadang naik
Sindoro-Sumbing-Prau sekali jalan, hanya membawa tas kecil saja berisi makanan
dan minuman, mungkin sama seperti ABG sekarang kalau mau maen ke mall. Tapi lama-lama, kerisihan dan
keanehan membawa seabreg peralatan baru pendakian gunung ini jadi menjadi
kebiasaan. Tidak ada masalah dengan “New
Normal” ini, karena normalnya mendaki gunung ya seperti ini.
Di akhir masa-masa
COVID-19, setelah kepanikan dunia agak mereda, muncul beberapa wacana “New Normal” di dunia, di semua sektor,
tidak termasuk dunia pendakian gunung. Para pemangku kepentingan sedang
merumuskan bagaimana “New Normal” di
kegiatan luar ruang. Namun dari beberapa diskusi dengan para pemandu gunung,
pengelola pintu pendakian dan para petugas di kawasan Taman Nasional yang
mengelola kawasan gunung, akan ada beberapa yang berubah di kegiatan pendakian
gunung.
Salah satu wacanya
adalah kegiatan wisata luar ruang peroangan akan segera diizinkan, termasuk
pendakian gunung. Keputusan yang membuat bingung ini tentu saja menimbulkan
banyak pertanyaan di berbagai kalangan. Paling banyak pertanyaan tentu saja
dari para pendaki gunung, mengingat salah satu aturan baku mendaki gunung
adalah dilakukan minimal oleh 3 orang. Lalu bagaimana tekis perizinan termasuk
mengurus SIMAKSI mengingat SIMAKSI untuk mendaki gunung di kawasan konservasi
pun mensyaratkan minimal 3 orang?
Tentu saja, kita
masih bisa melakukan pendakian gunung secara berombongan, termasuk mengurus
perizinan dan SIMAKSI. Hanya polanya yang akan berubah. Perkiraan pola
pendakian di “New Normal” adalah
berangkat bersama, mengurus izin bersama, hanya saja selama perjalanan tetap
melakukan sosial distancing. Masing-masing
pendaki juga harus membawa peralatan pendakian peorangan dari tenda, sleeping bag, peralatan makan dan minum,
termasuk peralatan memasak, juga perlengkapan lain secara individu. Ini tentu
saja mengadopsi dari Protokol COVID-19. Pendakian di era “New Normal” tenda dan alat masak adalah perlengkapan individu. Tapi
masalah tenda perorangan ini saya tidak masalah, karena saya memang terbiasa
menempati tenda saya sendirian bersama dengan semua perlengkapan fotografi
saya. Porter dan tim saya yang lain biasanya berada di tenda lain.
Hal ini tentu saja
juga akan berlaku di pengelola pendakian gunung, pembatasan pengunjung harus
diterapkan. Daya dukung gunung terhadap pendaki harus dihitung ulang, berapa
kapasitas tenda di tiap pos atau camping
ground, berapa luas puncak, berapa kuota harian pendukung dan sebagainya,
ini harus dihitung ulang dan ditetapkan kuotanya dan harus segera diterapkan.
Menyikapi “New Normal” di dunia pendakian gunung
ini, maka kedepan sistem yang paling pas diterapkan adalah “Ultralight Hiking”. Ultralight Hiking atau trekking itu adalah suatu cara atau tehnik melakukan perjalanan ke
alam bebas dengan membawa peralatan dan perbekalan yang ringan dan tanpa
meninggalkan prinsip-prinsip keamanan dan kenyamanan kita selama berada di
alam bebas. Melihat beban ransel pendakian normal sebelum COVID-19, dan membawa
perlengkapan individu “Ultralight Hiking”
tidak akan jauh berbeda, bahkan akan lebih ringan. Hanya saja harga gear Ultralight
Hiking biasanya lebih tinggi dibanding peralatan pendakian konvesional.
Tapi dengan membawa semua perlengkapan individual lengkap dalam satu ransel
ini, secara teknis justru menguntungkan dan meminimalisir hal-hal yang tidak
diinginkan.
“New Normal” pendakian gunung ini
seharusnya juga disikapi oleh dunia usaha di sektor kegiatan luar ruang seperti
Consina, Avtech, Eiger, dan Cosmeed sebagai peluang baru untuk menciptakan gear
baru yang bisa dipakai pendaki secara individu. Syaratnya awet, ringan,
ringkas, dan terjangkau harganya. Selain sebagai sebuah peluang usaha,
meciptakan alat pendakian perorangan ini juga sebagai sebuah dukungan untuk
para konsumennya dalam menghadapi “New
Normal” pendakian gunung.
Selamat Datang di di
era baru dunia pendakian gunung. Selamat bertemu kembali di hutan dan gunung
dalam perubahan. Salam Wildlife.
Penulis by : Bernard T. Wahyu Wiryanta – Wildlife Photo Journalist & Outdoor Activist
foto by : Bernard T. Wahyu Wiryanta
Penulis by : Bernard T. Wahyu Wiryanta – Wildlife Photo Journalist & Outdoor Activist
foto by : Bernard T. Wahyu Wiryanta
baca juga berita berikut